Kasus penganiayaan maut yang melibatkan prajurit TNI Angkatan Darat menimbulkan sorotan publik yang luas. Setelah rangkaian persidangan, Hakim Pengadilan Militer III-15 Kupang menjatuhkan vonis penjara bagi sejumlah prajurit yang terlibat dalam kasus tersebut.

Pada Rabu, 31 Desember, empat orang terdakwa menerima hukuman 6,5 tahun penjara ditambah dipecat dari dinas militer. Selain hukuman penjara, mereka juga diwajibkan membayar restitusi yang sudah ditetapkan oleh pengadilan.

Putusan ini mencerminkan ketegasan hukum yang ditempuh oleh sistem peradilan militer. Selain itu, kasus ini menyoroti dinamika yang terjadi di dalam institusi militer, terutama berkaitan dengan pengasuhan dan perlakuan terhadap anggota yang lebih muda.

Vonis Terhadap Prajurit yang Terkait Kasus Penganiayaan

Keputusan hakim lebih berat dari tuntutan Oditur Militer, yang sebelumnya meminta hukuman enam tahun penjara. Melihat fakta-fakta di pengadilan, hakim memberikan sanksi tambahan di samping hukuman penjara, yaitu pemecatan dari dinas.

Empat terdakwa yang dijatuhi hukuman merupakan prajurit yang bertugas di Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan 834/Waka Nga Mere. Di antara mereka terdapat nama-nama seperti Pratu Aprianto Rede Radja dan Pratu Ahmad Ahda.

Majelis hakim menyatakan bahwa tindakan para terdakwa menyebabkan kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo yang merupakan junior mereka. Putusan ini dianggap sebagai langkah penting untuk menegakkan keadilan dalam institusi militer.

Penyiksaan yang Berujung pada Tragedi

Prada Lucky Chepril Saputra Namo meninggal dunia pada 6 Agustus setelah mengalami penyiksaan di asrama militer. Ia sempat mendapat perawatan di RSUD Aeramo, Nagekeo, selama empat hari sebelum akhirnya meninggal.

Peristiwa tragis ini menarik perhatian yang luas, memperlihatkan sisi gelap dari hubungan senior-junior yang kerap terjadi di lingkungan militer. Kematian Prada Lucky menjadi simbol sorotan terhadap perlakuan yang tidak manusiawi di kalangan prajurit.

Setelah mengalami masa duka, jenazah Prada Lucky akhirnya dimakamkan dengan upacara militer. Upacara tersebut dihadiri oleh keluarga dan rekan-rekannya, sebagai penghormatan terakhir.

Proses Hukum dan Tanggung Jawab Militer

Kasus ini melibatkan 22 prajurit TNI Angkatan Darat sebagai tersangka, dan tiga di antaranya berpangkat perwira. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat tanggung jawab dalam kasus kekerasan di dalam institusi militer bukan hanya berhasil diatasi di kalangan prajurit, tetapi juga di tingkat kepemimpinan.

Peradilan militer berupaya menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Kasus ini diharapkan menjadi pembelajaran bagi seluruh anggota TNI mengenai pentingnya etika dan perlakuan yang baik di dalam lingkungan kerja.

Pihak keluarga juga berharap adanya perubahan dalam sistem pengasuhan di militer agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan. Dengan demikian, diharapkan institusi militer bisa menjadi tempat yang lebih aman untuk semua anggotanya.

Iklan