Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) telah mengambil langkah tegas dengan melayangkan surat kepada Kejaksaan Agung untuk mengusut tuntas dugaan korupsi dalam izin pertambangan nikel senilai Rp2,7 triliun yang melibatkan mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman. Surat ini muncul sebagai respons terhadap tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada bulan Desember 2024.

Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, sangat menyayangkan keputusan KPK yang menghentikan penyidikan, mengingat mereka telah menetapkan tersangka dalam kasus ini. Boyamin menegaskan pentingnya keadilan dan penanganan kasus korupsi untuk memastikan tidak ada pelaku yang kebal hukum.

“Kami berharap agar Kejaksaan Agung dapat menangani kasus ini secara menyeluruh dan tuntas,” ujar Boyamin dalam keterangan persnya. Laporan yang disampaikan MAKI juga mencantumkan nomor perihal: 1220/MAKI-JAMPIDSUS/XII/2025, yang memperlihatkan keseriusan lembaga ini dalam menuntut tindakan hukum.

Mekanisme Dugaan Korupsi dalam Penerbitan Izin Pertambangan

Dugaan korupsi ini berakar dari penerbitan izin pertambangan pada tahap eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Konawe Utara. Selama masa jabatan Aswad Sulaiman, sebanyak 17 perusahaan pertambangan nikel dirugikan karena proses izin yang dilakukan secara tidak transparan dan terkesan terburu-buru.

Boyamin menambahkan, Aswad diduga menerima suap yang fantastis sebesar Rp13 miliar sebagai imbalan percepatan pemberian izin tersebut. Dalam satu hari, sebanyak 17 izin disetujui, yang sangat mencurigakan dan menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang.

Akibat dari keputusan tersebut, kerugian finansial yang dialami negara diperkirakan mencapai Rp2,7 triliun dari penjualan hasil produk nikel. Ini adalah jumlah yang sangat signifikan dan mencerminkan betapa besar dampak dari tindakan korupsi yang melibatkan pejabat publik.

Tanggapan KPK Mengenai Kasus Ini

Dalam pernyataannya, Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa penerbitan SP3 dilakukan karena tidak ditemukan cukup bukti dalam penyidikan kasus ini. KPK merasa bahwa sebagai institusi hukum, penting untuk memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.

Budi menyoroti bahwa kasus ini telah berlarut-larut, dengan tempus yang sudah melebihi batas waktu penyidikan, sehingga masalah kedaluwarsa juga turut berperan dalam keputusan tersebut. Proses hukum yang harus sesuai dengan norma-norma hukum adalah prinsip yang ditekankan KPK dalam pelaksanaan tugasnya.

Lebih lanjut, Budi menegaskan bahwa keputusan untuk menerbitkan SP3 tidak hanya untuk menyelesaikan kasus, tetapi juga sebagai langkah untuk menjaga akuntabilitas dan transparansi dalam penanganan kasus-kasus korupsi yang lainnya.

Sejarah Kasus Korupsi Pemberian Izin Pertambangan

KPK sebelumnya menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka pada tahun 2017 terkait dengan penerbitan izin pertambangan nikel. Ia diduga merugikan negara dengan jumlah yang sangat besar akibat praktik perizinan yang melawan hukum.

Aswad yang menjabat sebagai Bupati Konawe Utara dari tahun 2007 hingga 2009 dan 2011 hingga 2016, tercatat menerbitkan izin kuasa pertambangan dari tahun 2007 hingga 2014. Selain tuduhan kerugian negara, ia juga diduga menerima suap dari berbagai perusahaan yang terlibat dalam industri nikel.

Wakil Ketua KPK, saat itu, mengungkapkan bahwa dugaan kerugian keuangan negara bisa mencapai Rp2,7 triliun, yang diakibatkan oleh penjualan hasil produksi nikel secara ilegal. Ini menjadi bukti nyata dari kompleksnya korupsi yang melibatkan pejabat publik dan dampaknya terhadap perekonomian negara.

Iklan