Pertikaian terkait pengelolaan Museum Keraton Surakarta kembali mengemuka dengan serangkaian peristiwa yang memicu ketegangan di kalangan pegawai dan pengurus keraton. Baru-baru ini, sejumlah pegawai dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X diusir dari museum saat mereka menjalankan tugas. Insiden ini menyisakan tanda tanya mengenai hak kepemilikan dan pengelolaan budaya di daerah tersebut.

Pengusiran ini terjadi di tengah upaya kelompok tertentu yang ingin memperbaiki sistem keamanan museum dengan memasang CCTV dan mengganti gembok pintu-pintu keraton. Situasi ini mencerminkan konflik internal yang lebih besar terkait otoritas dan pengelolaan terhadap warisan budaya yang berharga.

Situasi semakin kompleks dengan hadirnya pemangku kepentingan yang berbeda, termasuk anggota keluarga kraton dan pihak pemerintah. Upaya untuk modernisasi ini mungkin berdampak pada pelestarian dan keaslian objek-objek bersejarah yang terdapat di keraton.

Awal Mula Ketegangan di Museum Keraton Surakarta

Serangkaian peristiwa yang terjadi dimulai dengan pengusiran pegawai BPK oleh pihak yang mendukung SISKS Pakubuwana XIV Purbaya. Pada saat itu, perwakilan Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta berada di luar kota, memenuhi undangan dari Kementerian Kebudayaan. Situasi ini memberi kesempatan bagi SISKS untuk mengambil tindakan yang mereka rasa perlu.

BRM Suryomulyo Saputro, cucu dari Pakubuwana XIII, menyebutkan bahwa tindakan pengusiran ini mulai terjadi setelah pihak SISKS mulai memasang CCTV. Pemasangan ini dilakukan tanpa konsultasi, yang memicu respons negatif dari pegawai museum.

Keberadaan CCTV di area museum, menurut beberapa pihak, dapat dianggap sebagai langkah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip pelestarian budaya. Ini menunjukkan adanya ketidakpahaman antara modernisasi dan pelestarian warisan sejarah yang sangat berarti bagi masyarakat.

Pemasangan CCTV dan Ganti Gembok Pintu

Pemasangan CCTV yang dilakukan oleh pihak SISKS menuai pro kontra yang cukup sengit. Beberapa anggota keluarga kraton merasa tindakan ini merusak citra dan esensi budaya yang selama ini dijaga. Sementara itu, penggantian gembok di pintu-pintu keraton menambah ketegangan hingga mengakibatkan pengusiran pegawai BPK.

GKR Panembahan Timoer Rumbai dan GKR Devi Lelyana Dewi, dua putri dari Pakubuwana XIII, terlibat langsung dalam pengusiran ini dengan dukungan sejumlah loyalis SISKS. Melihat tindakan ini, banyak yang mempertanyakan keabsahan langkah mereka dan adanya transparansi dalam pengelolaan keraton.

Penggantian gembok dilakukan dengan menggunakan alat seperti gerinda, yang dikhawatirkan dapat merusak struktur pintu-pintu bangunan bersejarah. Keberanian pihak SISKS untuk mengambil tindakan ini menunjukkan adanya konflik yang lebih dalam mengenai siapa yang memiliki hak untuk mengambil keputusan terkait aset budaya.

Respon dan Penjelasan dari Pihak SISKS

Juru Bicara SISKS Pakubuwana XIV Purbaya, KPA Singonagoro, menyatakan bahwa tindakan penggantian gembok adalah langkah yang perlu diambil untuk memastikan keamanan dan efisiensi operasional museum. Menurutnya, jumlah pintu yang diganti mencapai sekitar sepuluh, termasuk pintu Kori Kamandungan yang merupakan akses utama ke kompleks kedhani.

Ia menegaskan bahwa tidak ada pengusiran pegawai, melainkan hanya penggantian kunci untuk memudahkan administrasi. Namun, banyak pihak juga meragukan pernyataan ini, karena tindakan tersebut tampak mengabaikan prosedur pelestarian yang telah ada.

Keabsahan langkah-langkah yang diambil oleh SISKS menjadi sorotan, mengingat ini berkaitan dengan warisan budaya yang dimiliki bersama. Banyak masyarakat lokal yang merasa kehilangan kontrol atas aset budaya mereka sendiri, sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat.

Iklan