Wakil Ketua MPR dari Fraksi PAN, Eddy Soeparno, mengemukakan pandangannya mengenai pemilihan kepala daerah (pilkada) yang diusulkan dilakukan melalui DPRD. Menurutnya, hal ini sesuai dengan sila keempat Pancasila yang menekankan musyawarah untuk mufakat. Dia meyakini bahwa jika ada pihak yang tidak sepakat, mereka bisa mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencari kejelasan hukum.

Dalam konteks ini, Eddy menekankan pentingnya keterwakilan rakyat dalam pengambilan keputusan. Sebagai pemimpin MPR, ia merasa perlu menyoroti bahwa pemilihan melalui perwakilan mencerminkan nilai-nilai demokratis yang terkandung dalam Pancasila.

“Kita harus memahami bahwa pemilihan secara keterwakilan seharusnya menjadi aceh dari ruh demokrasi kita,” ujar Eddy di kompleks parlemen beberapa waktu lalu.

Masalah dalam Pelaksanaan Pilkada Langsung yang Perlu Diperhatikan

Eddy Soeparno juga mengungkapkan beberapa masalah yang muncul dalam pelaksanaan pilkada langsung di Indonesia. Dia mengidentifikasi isu money politics dan politik dinasti sebagai dua masalah besar yang sering mengganggu proses demokrasi. Menurutnya, hal ini memperburuk integritas pemilihan dan menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat.

Politik identitas juga menjadi sorotan, di mana Eddy berpendapat bahwa hal itu seringkali memecah belah masyarakat. “Kami menyaksikan peningkatan penggunaan politik identitas yang justru merugikan keutuhan masyarakat,” tambahnya.

Beliau menjelaskan bahwa dampak negatif dari pilkada langsung ini tidak hanya berpengaruh pada sistem politik, tetapi juga terhadap kualitas kehidupan sosial di masyarakat. Masyarakat sering kali hanya dihadapkan pada tawaran amplop atau sembako sebagai imbalan untuk memilih calon tertentu.

Proposisi Implementasi Pilkada melalui DPRD

Dalam memperbaiki sistem pilkada, Eddy percaya bahwa pelaksanaan pemilihan melalui DPRD dapat menjadi solusi dari permasalahan yang ada. Meskipun hal ini berarti mengurangi hak rakyat untuk memilih secara langsung, ia menilai pemilihan lewat DPRD mungkin menghasilkan pemimpin yang lebih berkualitas. “Kita harus melihat ke depan dan mencari jalan keluar yang terbaik bagi demokrasi kita,” ungkapnya.

Dia juga menyarankan agar kajian mendalam dilakukan terkait usulan tersebut. Proses ini diharapkan akan melahirkan pemangku kepentingan yang lebih bertanggung jawab dan mampu mengedepankan kepentingan masyarakat.

Eddy menambahkan bahwa pelaksanaan sistem ini perlu melibatkan publik dalam prosesnya, sehingga suara masyarakat tetap didengar. “Kedaulatan rakyat harus senantiasa dijunjung tinggi, terlepas dari metode yang digunakan,” tegasnya.

Konteks Wacana Pilkada melalui DPRD di Kalangan Partai Politik

Wacana tentang pilkada melalui DPRD kembali menjadi topik hangat di kalangan partai politik. Beberapa waktu lalu, Partai Golkar mengadakan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) dan salah satu rekomendasi yang muncul adalah mendorong pilkada tak langsung. Rekomendasi tersebut menunjukkan arah baru dalam pembahasan sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia.

Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia, mengungkapkan bahwa langkah ini diambil untuk menguatkan pelaksanaan kedaulatan rakyat. Namun, disertai dengan keterlibatan publik dalam setiap langkah yang diambil.

Partai Gerindra, PAN, dan PKB juga menyatakan dukungan atas wacana ini. Kebangkitan ide ini menunjukkan adanya kesepakatan di antara beberapa partai untuk mencari solusi lebih ideal dalam pemilihan kepala daerah.

Tanggapan Beragam Terhadap Usulan Pilkada melalui DPRD

Namun, tidak semua partai sepakat dengan ide pilkada melalui DPRD. Partai Demokrat dan PDIP secara tegas menolak usulan ini, sementara PKS mengusulkan alternatif variasi dalam sistem pemilihan. NasDem, di sisi lain, belum mengeluarkan suara resmi mengenai isu ini.

Perdebatan ini mencerminkan adanya beragam perspektif di antara partai-partai politik tentang bagaimana seharusnya proses demokrasi dilaksanakan. Hal ini juga menunjukkan kebutuhan untuk mendengarkan suara dari berbagai elemen masyarakat sebelum membuat keputusan final.

Sementara itu, DPR dijadwalkan memulai pembahasan RUU Pemilu pada tahun 2026. Hal ini mencakup berbagai isu, termasuk kemungkinan perubahan sistem pilkada. Para anggota DPR diharapkan dapat merumuskan solusi yang mencakup seluruh aspek untuk kualitas demokrasi yang lebih baik.

Iklan