Keragaman budaya Indonesia menciptakan banyak tradisi dan konsep yang unik untuk dieksplorasi. Salah satunya adalah sengkolo, istilah dalam budaya Jawa yang sering dihubungkan dengan nasib buruk dan energi negatif yang mungkin menimpa seseorang.

Sengkolo juga berkaitan erat dengan malam Satu Suro, di mana masyarakat merasa adanya pelanggaran terhadap harmonisasi spiritual. Dalam tradisi kuliner, sengkolo juga menggambarkan hidangan khas yaitu Bubur Sengkolo, yang dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai jenang abang putih, sebagai bagian dari ritual pemagaran diri terhadap bala.

Nama Bubur Sengkolo mungkin memberi kesan berwarna merah putih, namun sebenarnya tampil dalam nuansa cokelat keputihan.

Konsep energi negatif yang diwakili oleh sengkolo dianggap dapat mengganggu kesejahteraan individu, baik dalam aspek kesehatan, keuangan, maupun hubungan sosial.

Pahami Lebih Dalam Tentang Sengkolo dan Malam Satu Suro

Pada kesempatan tertentu, banyak orang meyakini bahwa malam satu Suro menjadi waktu yang paling rentan bagi mereka yang dikelilingi oleh energi negatif. Dalam tradisi Jawa, malam ini merupakan saat di mana makhluk halus dianggap bergerak lebih aktif untuk menjangkau manusia.

Biasanya, pengamatan akan fenomena ini mengarah pada waktu-waktu tertentu dalam kehidupan seseorang, terutama terkait dengan weton atau kalender Jawa, yang dianggap sebagai momen ketika pelanggaran hakiki menjadi perhatian.

Malam satu Suro bersamaan dengan 1 Muharam dalam kalender Hijriah pun diangap sebagai awal tahun baru. Karakteristik malam ini penuh dengan nuansa spiritual yang kental, mendorong orang-orang untuk lebih introspektif dan bersikap penuh kesadaran.

Mitos dan Pantangan Seputar Malam Satu Suro

Selama malam satu Suro, ragam mitos dan pantangan seringkali muncul dalam masyarakat. Diantaranya adalah larangan keluar rumah setelah maghrib, serta anjuran untuk tidak menggelar acara atau hajatan.

Larangan-larangan tersebut berasal dari nilai-nilai spiritual yang sudah ada sejak dahulu kala, yang mengingatkan kita tentang pentingnya kehati-hatian dalam berperilaku. Meski tidak ada bukti ilmiah konkret, banyak orang masih merasakan aura mistis pada malam ini.

Saat malam tiba, sikap lembut seperti berbicara dengan nada bukan mencolok, serta menjaga sikap yang baik, menjadi hal penting dalam menghadapi potensi persoalan. Dengan memahami mitos ini, banyak orang berupaya untuk menjaga diri dari berbagai hal yang tidak diinginkan.

Ritual yang Menyertai Tradisi Sangkolo

Tradisi yang terjaga dari generasi ke generasi lebih banyak berfungsi sebagai simbol untuk mendorong introspeksi dan kedekatan dengan Tuhan. Sengkolo dan malam satu Suro sering kali disertai ritual yang mengajak semua lapisan masyarakat untuk merenung.

Salah satu ritual khas adalah Tapa Bisu, di mana individu menahan diri dari berbicara dalam rentang waktu tertentu sebagai bentuk penghormatan. Ziarah ke makam leluhur juga sering dilakukan untuk memperkuat ikatan spiritual dengan akar budaya.

Hal ini menunjukkan bagaimana tradisi ini bukan hanya melulu tentang ketakutan, tetapi juga tentang menghormati ajaran dan nilai yang dibawa oleh para pendahulu. Dan meski saat ini tampak sedikit keras, tetap ada keindahan dalam perayaan tradisi ini yang patut direnungkan.

Perkembangan Ide Cerita Berbasis Sengkolo

Sengkolo ternyata bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga memberikan inspirasi bagi para seniman untuk kreasikan dalam bentuk yang lebih modern. Sebuah film bertajuk Sengkolo: Petaka Satu Suro pun telah diperkenalkan sebagai wujud pengembangan budaya ini dalam dunia perfilman.

Film yang disutradarai oleh Deni Saputra ini menghadirkan deretan aktor berbakat serta cerita yang menyentuh aspek budaya Jawa dengan nuansa horor. Rencananya, film ini akan tayang di seluruh Indonesia pada 22 Januari 2026.

Produser proyek ini berharap film tersebut dapat membawa elemen tradisi dan cerita lokal yang kuat kepada penonton, sekaligus memperkenalkan bagaimana potensi kultur lokal bisa diangkat menjadi sebuah karya seni yang berkelanjutan dan mendalam.

Iklan